Blog Details

Featured blog image
CIVIC

Apakabar Demokrasi Indonesia Hari Ini?

Author

Admin

Oleh: Intan Philiani, Shahib Kholil Rahman Al-Irsadi, Muhammad Adzkarurrabbani Zohri, Deky Nuzul Ramdhani, Acmad Edi Sudirman, Muh. Surur, Lydia Primawati, Hermawati, Syiva Zahara

Indonesia merupakan negara demokrasi yang telah mengalami berbagai dinamika sejak kemerdekaannya. Setidaknya ada empat fase demokrasi yang telah dilalui: Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila Orde Baru, dan Demokrasi Pancasila Era Reformasi (Manurung, Zee, Nathanael, & Ernando, 2022. Indonesia saat ini menerapkan sistem Demokrasi Pancasila era reformasi, yang  berarti cerminan dari nilai-nilai Pancasila, partai politik dan partisipasi aktif rakyat berperan  penting dalam menjaga stabilitas demokrasi hari ini (Suryadi & Nelwati, 2024). Namun,  stabilitas demokrasi saat ini justru menjadi pertanyaan karena sepertinya demokrasi Indonesiahari ini hanyalah demokrasi prosedural. Artinya demokrasi dijalankan untuk memenuhi syarat  saja. Hal ini disimpulkan demikian karena masih banyak praktik money politic dan praktik  demokrasi lainnya yang melanggar etika dan moral dan ini tidak sesuai dengan nilai-nilai  Pancasila. 

Secara etimologis, demokrasi prosedural berarti praktik demokrasi yang hanya terpaku  pada hukum tertulis tanpa melihat hukum moral (tidak tertulis) (Damanik et al, 2025).  Demokrasi prosedural seperti bahasa halus dari penguasa, bangsawan, kapitalis kepada rakyatnya  bahwa rakyat memiliki kebebasan walaupun dalam keadaan miskin dan keadaan buruk lainnya,  yang sebetulnya kebebasan tersebut hanya ilusi agar rakyat tidak memberontak (Winters, 2011). Bahkan Kebebasan ini diberikan dengan cara membiarkan rakyat mengatakan sejujur-jujurnya  namun dengan potensi untuk dibungkam (Aji, 2025 ). Sedangkan demokrasi substantif adalah  demokrasi yang tidak terpaku kepada hukum tertulis yang berlaku saja, namun juga hukum  moral. Negara-negara yang menjalankan demokrasi secara substantif akan mendapati warga  negara yang paham akan demokrasi. Contohnya adalah negara-negara di Eropa, dan negara di  Asia seperti Jepang yang jika terjadi kesalahan maka pejabatnya akan mengundurkan  diri. Mereka memiliki moral, intergritas, harga diri yang tinggi (Rasyid, 2024). Hal tersebut  adalah ajaran dari turun temurun yang telah ditanamkan sejak kecil sehingga sangat membekas  disetiap individu. Lingkungan juga sangat berpengaruh. Etos kerja yang tinggi menimbulkan  semangat juang yang tinggi pula, sehingga demokrasi tumbuh dengan seimbang. Meskipun  dampak buruknya adalah tingginya tingkat stres. 

Lalu bagaimana dengan bangsa Indonesia?, Krisis etika demokrasi di Indonesia menjadi  peringatan bagi kita semua. Berbagai aktor dalam sistem pemerintahan dari tingkat lokal hingga nasional kerap kali disebut dalam diskursus krisis demokrasi. Krisis etika itu berupa money politic, hal yang  hampir lumrah ditemui terjadi di masyarakat, Hal ini disebabkan dengan penerapan demokrasi  prosedural yang membuat golongan yang memiliki modal lebih akan lebih mudah mencapai  kursi otoritas, sehingga siapapun yang bisa berkuasa di Indonesia, cendrung berasal dari  golongan dengan ekonomi kuat, lalu apakah ini berarti “orang kaya” dilarang ikut kontestasi  pemilu untuk mendapatkan kursi kekuasaan?, tentu tidak, tapi banyak sekali aturan yang dibuat  justru hanya untuk melanggengkan kepentingan golongan pengusaha (Primbada, 2024). 

Seperti contohnya Omnibuslaw yang dinilai didominasi oleh kalangan pengusaha, tanpa menimbang  aspirasi dari masyarakat umum, padahal DPR sebagai produk demokrasi semestinya menjadi  wadah aspirasi rakyat dan bertanggung jawab memenuhi amanat publik melalui kebijakan yang  mensejahterakan. dimana dalam pembentukan UU Omnibuslaw, proses tersebut justru hanya  mengundang perwakilan dari pengusaha dan abai pada suara masyarakat, hasilnya adalah sebuah  kebijakan dan peraturan yang justru berdampak pada melemahnya perlindungan tenaga kerja,  minimnya partisipasi publik, potensi kerusakan lingkungan, menguatnya kepentingan oligarki akibat kewajiban sosial berkurang, dan meningkatnya ketidakpastian hukum bagi masyarakat  (Layyina et al, 2024). Ini memang secara prosedural tidaklah salah, setiap kebijakan yang  disepakati bersama akan menjadi sebuah legaliltas sah, namun secara moral, ini yang perlu  diperhatikan. 

Operasional Partai Politik yang berbiaya besar juga menyumbang krisis demokrasi dengan masuknya banyak pengusaha besar ke partai politik untuk mengamankan kepentingan bisnisnya. Hal tersebut diperparah dengan perekrutan kader yang kurang relevan dalam bidangnya, seperti artis yang masuk dalam partai politik dengan memanfaatkan popularitas sehingga bisa dinilai partisipasinya lebih mengedepankan kepentingan elektoral begitupula(Mustika &  Arifianto, 2018), tanpa disertai penguatan nilai kompetensi substansial dalam bidang publik, sekali lagi  apakah ini sebuah pelanggaran?, tentu tidak, namun secara moral, kita hanya melihat sebuah  cerminan dari demokrasi prosedural yang bersifat simbolik tanpa benar-benar mengaplikasikan demokrasi secara  subtantifnya.

Demokrasi sejatinya memang membutuhkan masyarakat yang kritis dan cerdas, karena  masyarakatlah yang bisa menjadi aktor utama para pelaku demokrasi prosedural dapat langgeng  dalam kekuasaanya. Masyarakat dapat menjadi penentu, siapa pemimpin yang akan terpilih yang  akan mempengaruhi arah kebijakan selanjutnya, inilah yang menjadi tantangan, bagaimana  mengubah pola pikir sebagian besar masyarakat Indonesia yang belum memiliki kesadaran ini.  Kampanye akan partisipasi politik yang diimbangi dengan kecerdasan dan moral demokrasi  menjadi kunci utama dalam memperbaiki permasalahan ini, sehingga kita dapat menerapkan  demokrasi yang lebih subtansial  (ed. Qurnia Indah Permata Sari)

 

Referensi:  

Aji, W. T. (2005) Mendemo demokrasi: Menarasikan Paradoks Demokrasi. 

Damanik, Eko Rinaldo, Farina , T., & Nugraha, S. (2025). Krisis Partisipasi Publik dalam
Pembentukan Undang-Undang di Indonesia: Problematika Hak Konstitusional dan  Pengabaian Aspirasi Rakyat. Innovative: Journal Of Social Science Research, 2518- 2540. 

Layyina, T. H., Umar, M. R., & Rahmadhani, M. A. (2024). Analysis Of The Political Oligarchy
DPR Of Indonesia During The Jokowi Administration (2019-2024). ARRUS Journal of  Social Sciences and Humanities, 4(6), 717-724. 

Manurung, C. E., Zee, C., Nathanael, N., & Ernando, R. (2022). Perkembangan Sistem
Demokrasi di Indonesia dan Relevansinya untuk Kehidupan di Tahun 2022. Nusantara:  Jurnal Pendidikan, Seni, Sains dan Sosial Humanioral.

Mustika, R., & Arifianto, S. (2018). Komodifikasi “Popularitas Selebritis” untuk Mendulang
Suara Pemilu Legislatif 2019. Jurnal Studi Komunikasi Dan Media, 22(2), 139-150. 

Priambada, Y. B. (2024, Oktober 1). Maraknya dinasti politik dan pengusaha di parlemen.
Kompas.id. Diakses 10 Juli 2025, dari  
https://www.kompas.id/baca/riset/2024/10/01/maraknya-dinasti-politik-dan-pengusaha di-parlemen 

Rasyid, A. (2024). Budaya Mundur. Koran Mimbar Umum, 1-11. 

Suryadi, F. R., & Nelwati, S. (2024). Mengupas Sistem Demokrasi Indonesia, Keunikan dan  Perbandingan Global. Dewantara: Jurnal Pendidikan Sosial Humaniora

Winters, J. A. (2011). Oligarchy. Cambridge University Press.