Dilema Demokrasi: Suara Rakyat di Ambang Moralitas yang Memudar
Oleh: Arita Yuda Katiara Rizki, Nuraihannah, Dhimaz Andrean Putra Riandy, Thoriq Daffa Deas, Rizki Nur Azizah Putri, Miftakhul Jannah, Ahmad Irfan Fauzi, Siti Sunduz, Jemima Oenike Koelima, Norbet U. K. Laki Pali, Febrizha Annaliah, Fairuz Erlangga Nadwi, Muhammad Zain Amirul Djafar
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Demos” yang berarti rakyat dan “Kratos” yang berarti kekuasaan atau pemerintahan. Sehingga dilihat dari asal kata, Demokrasi dapat dimaknai sistem kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, sistem pemerintahan dari rakyat-oleh rakyat-untuk rakyat. Rakyat menjadi pengawas jalannya sistem pemerintah apakah sudah sesuai dengan harapan, cita-cita, dan tujuan bersama yang diharapkan bangsa sesuai amanat Undang-Undang. Sehingga diharapkan para pemangku kebijakan bisa merealisasikan program tupoksinya dengan penuh tanggung jawab, tidak menyelewengkan kebijakan untuk kepentingan diri maupun kelompok semata.
Namun, ketika berkaca dengan Implementasi Demokrasi Indonesia hari ini, kondisinya dapat dikatakan cacat, kritis. Sistem yang hanya dianggap eventual 5 tahun yang tercermin dalam Pemilu maupun Pilkada. Secara proses, pelaksanaan, maupun output dapat dikatakan tidak terlepas dari hadirnya para pemain kepentingan masing-masing (Prosedural). survei LSI (Feb 2024) mencatat 94,3% responden menilai pemilu 2024 jujur/adil saat pemungutan suara, tetapi angka tersebut turun menjadi 76,4% sesudahnya. Belum lagi krisis kepercayaan rakyat kepada para tokoh pemimpin yang marak melakukan malpraktik kebijakan, membuat beberapa kelompok masyarakat mulai muak dan enggan peduli, lelah dengan isu kepemimpinan, kenegaraan maupun politik hari ini.
Beberapa malpraktik yang mencerminkan lemahnya tanggung jawab moral dalam politik hari ini diantaranya kelompok yang berkepentingan memainkan media digital untuk menggiring opini publik yang memengaruhi citra diri pihak tertentu. Indeks Demokrasi EIU 2024 menempatkan Indonesia di skor 6,44 (kategori demokrasi rusak). catatan EIU menyebut tren politik dinasti (keluarga berkuasa turun-temurun) semakin menguat, merusak mekanisme perwakilan dan akuntabilitas. Tingkat partisipasi pemilih tinggi (sekitar 81% di Pemilu 2019). kurangnya aksi nyata kesadaran dan prinsip moralitas dalam berpolitik di kalangan elit. maraknya money politik dan di kalangan masyarakat akrab dikenal istilah serangan fajar.
Survei Indikator (Feb 2024) menemukan 35% pemilih bersikap oportunis menerima uang kampanye dan 41,5% responden menganggap politik uang sebagai hal yang “wajar”. Pola seperti inilah yang kemudian menjadi “sistem” yang telah diatur sedemikian rupa oleh oknum agar sesuai dengan tujuan kepentingan, dan lain sebagainya. Berdasarkan pola inilah memunculkan benturan lapisan masyarakat antara rakyat, tokoh pergerakan, komunitas, dengan aparat serta kelompok berkepentingan tersebut. Bahkan tidak sedikit menimbulkan korban.
Survei Indikator (Jan 2024) menunjukkan DPR dan partai politik hanya dipercaya oleh ~65% responden (64,8% DPR; 64,2% partai), jauh di bawah TNI (89,3%) dan presiden (86,7%). Ini mencerminkan kesenjangan kepercayaan yang besar, sejalan dengan pengamatan Syarif Hidayat bahwa demokrasi kita “cenderung hanya menghasilkan politisi bergantung modal”.
Mahendra et al. (2021) menegaskan bahwa budaya permisif politik uang merusak output demokrasi: suara yang ‘dibeli’ lebih mungkin memenangkan elit yang tidak memperhatikan kepentingan publik. Sekalipun kondisi hari ini demikian, bukan berarti kita sudah diambang kegagalan. Masih ada harapan untuk menegakkan kebenaran sesuai dengan kondisi yang seharusnya (substantif) dan masih ada kelompok-kelompok yang terus berupaya mengupayakan demokrasi yang bermoral tersebut. Guna membedakan kedua kondisi demokrasi hari ini dapat kita lihat melalui tabel berikut:
Tabel.1
Perbedaan demokrasi prosedural dengan demokrasi yang bermoral dan substantif:
Demokrasi Prosedural |
Demokrasi Substantif |
Ketika Pemilu atau Pilkada Rakyat menggunakan hak pilih hanya sekedar memilih semata-mata |
Rakyat tidak sekedar menggunakan hak suara untuk memilih, melainkan aktif terlibat dalam pengawasan kinerja serta memilih berlandaskan kesadaran |
Elit Politik tidak begitu menjadikan keadilan sosial sebagai prioritas, melainkan cenderung mengarah kepada kepentingan |
Keadilan sosial merupakan tujuan utama yang dicanangkan |
Demokrasi hanya bersifat luaran saja, cover |
Demokrasi menjadi landasan, ruh-ruh dari setiap proses yang diambil |
Berbicara tentang aspek mana yang boleh dan mana yang tidak boleh |
Berbicara tentang mana yang pantas/ baik dan mana yang tidak pantas/ tidak baik |
Sumber : Penulis (2025).
Setelah melihat tabel di atas, kemudian muncul pertanyaan reflektif, siapa yang bertanggung jawab atas kondisi tersebut? Aktor utama yang berperan dalam krisis etika demokrasi di Indonesia saat ini antara lain Kelompok elite & partai politik, Penyelenggara Pemilu (KPU-Bawaslu), Lembaga kenegaraan, Pemerintah, Media, Tokoh Masyarakat, Para pengusaha/ pebisnis, Cendekiawan, atau dapat kita simpulkan seluruh lapisan masyarakat bertanggung jawab secara kolektif dalam hal ini.
Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas mengkritik keras pengesahan UU Cipta Kerja (2020) sebagai tindakan “defisit moral” pemerintahan dan DPR yang mengabaikan aspirasi rakyat. Fenomena politik SARA, uang, dan dinasti yang dikecam Grace dan Jeirry adalah indikator krisis nilai: “narasi-narasi” hegemoni elit harus dilawan agar etika politik terjaga.
Pertanyaan reflektif berikutnya apakah ada cara-cara bagi kelompok pelajar maupun generasi muda untuk turut melakukan aksi nyata dalam mengawal kondisi demokrasi hari ini? Keterlibatan generasi muda sebagai warga negara aktif yang etis dan bermoral diwujudkan dalam konteks demokrasi yang sedang terpolarisasi dan dikendalikan oleh oligarki dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya: Belajar PPKn dengan giat dan serius, aware pada apa isu yang sedang dikawal sampai tuntas jangan sampai terdistraksi dengan pengalihan isu yang bersifat lambe turah, menggandeng unsur pentahelix (Media, Akademisi, Komunitas, Pengusaha, Pemerintah) untuk dapat bersama-sama menciptakan iklim demokrasi yang menjunjung etika dan moralitas, menggandeng unsur keagamaan agar aware terhadap isu politik serta selalu menyebut nama bangsa disetiap doa ketika beribadah.
Referensi:
- Lembaga Survei Indonesia (LSI). (Feb 2024). Survei Persepsi Publik Terhadap Pemilu 2024.
- The Economist Intelligence Unit. (2024). Democracy Index: Indonesia Country Report.
- Indikator Politik Indonesia. (Jan 2024). Indeks Kepercayaan Publik pada Lembaga Politik.
- Bawaslu. (2024). Laporan Dugaan Kasus Politik Uang Pilkada 2024.
- Erar Yusuf, A. (2024). ‘Integritas Pemimpin dan Kejujuran dalam Demokrasi.’ Jurnal Etika Politik.
- Busyro Muqoddas. (2020). Kritik Terhadap UU Cipta Kerja.
- redaksi. (2024, February 26). Tingkat kepuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024 menurun. MOST 1058.
- Saputra, Y. (2025, March 20). Catatan perbaikan indeks demokrasi Indonesia. Hukumonline.
- ANTARA News. (2024, March 27). Tingkat partisipasi pemilih Pemilu 2024 [Infografik]. ANTARA News.
- Mahendra, Y. I. (2021, June 30). Paradoks demokrasi di Indonesia tahun 2014–2019: Analisis prosedural dan substansial. Paradigma POLISTAAT: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 4(1).
- Riandi, M. A. (2024, October 14). Meningkatnya angka politik uang tahun 2024, pertanda Indonesia minimnya sosialisasi politik untuk demokrasi? Universitas Andalas.
- Indikator Politik Indonesia. (2024, January 23). Tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum dan politik [PowerPoint slides]. Indikator Politik Indonesia.
- Detik News. (2020, October 6). PP Muhammadiyah kritik keras pengesahan UU Cipta Kerja. Detik.com